Minggu, 09 November 2008

Sajak Mentah

/1/
Adakah kesunyian bisa dinamai
Diklasifikasi dalam ensiklopedi
hingga menjadi sebuah logi tersendiri

/2/
Maka rembulan pernah menuntut telaga yang
hendak mencuri bayangnya di
tiap malam terindah

“Bayangku adalah simbol surgawi, tidak untukmu sang pencuri…”

“Ini semua bukan milikmu.
Kita sama-sama meminjam matahari!” Jawab telaga tak terima.

/3/
Maka saat kau congkel matamu, dengan belati yang pernah
kuhadiahkan untukmu,
bongkahan airmatamu lah yang jatuh, pecah,
dan terserak.

/4/
Suatu saat engkau lupa mengapa engkau pernah mencintainya. Kau bahkan lupa seperti apa wajahnya yang pernah selalu kau bayangkan di tiap detikmu; suaranya yang selalu mendendangkan nada-nada di penghujung malammu; bahkan sentuhannya yang lembut menelusuri tiap lekuk tubuhmu.

Sebab kini engkau tengah lupa, bahkan engkau lupa jati dirimu.

/5/
Anak-anak kecil yang bermain gundu di belakang rumahmu itu sebenarnya tengah memunggungi rindu. Menantang roda nasib yang berputar seenaknya di atas kepalamu.

“Ini rindu, sebagai taruhanku.”

Seperti itulah detik-detik bertaruh, tentang detik ke berapa anak-anak kecil itu akan memenangkan gundu, seharga rindu.


/6/
Tidakkah malam selalu berbohong?

Tak ada matahari di sini. Tak ada.

Padahal ia menyembunyikan matahari
menjadikan miliknya sendiri.

/7/
Ia muntahkan lagi cinta yang baru saja ia telan. Tentu aku bertanya kenapa, katanya cinta itu pahitnya tak tertahankan
Maka kuberi saja dia setoples gula, biar manis.
Eh, malah keracunan.

/8/
Anak-anak kecil itu mulai belajar memilih; mana yang baik, mana yang buruk; mana yang benar, mana yang salah; mana yang benar-benar harus dipilih dan ditinggalkan.

Maka kami memberi dua pilhan: sama-sama mengatakan kebenaran. Anak-anak kecil itu pun kebingungan dan mulai berhamburan, memilih pilihannya masing-masing.

/9/
Kunci pintu rumahku
sudah kusembunyikan di bawah alas kaki
tak mungkin akan bisa kau temukan
meski kau paksa, aku tak akan katakan;
aku tak akan berikan
Sebab ruang ini sudah bukan milkmu
cuma untukku.

/10/
Maka memori ini masih meneriakkan kata-kata rindu, kata-kata cinta, dan bisik-bisik mesra yang pernah kau hembuskan di telingaku dulu…

Tapi kini percuma. Sebab aku telah tuli. Bahkan bisu.
Sekali pun tak pernah lagi aku mendengar semua itu. Atau memintamu meneriakannya untukku.

/11/
Ini hari kesebelas aku bersamamu, dan sudah tak ada rahasia yang tersisa. Semua sudah kauungkap, dan tersingkap. Seperti rokku yang kausingkap begitu nakalnya di tiap malam kita berdua.

/12/
Hari-hari yang ganjil telah kita lewati bukan?

Tak ada lagi tangan-tangan jahil yang seenaknya menjadi kaki, atau mata-mata yang pindah ke belakang kepala – mengawasimu, yang ingin menusukku dari belakang.

Kita bahkan bisa tidur nyenyak di malam yang genap, tidak lagi takut kepalamu tiba-tiba terjatuh, terbelah, memindahkan otakmu ke dengkulmu; tidak lagi khawatir pada tanganmu yang berjalan sendiri, menggelitiki tiap titik senstifku, merayu hasrat agar semburat di hadapmu.

Sungguh, hari-hari yang ganjil itu telah kita lewati.

/13/
Bibirmu begitu sabit,
inginkanku menjelma purnama dengan sebuah kecup
yang paling hangat

Maka itu hasrat, katamu

Dan bulan mati, hasrat pun mati.

Tidak ada komentar: