Rabu, 12 November 2008

Nol: Angka--Manusia

Saya sungguh tak pernah berbohong. Tak pernah menyebut satu sebagai dua. Dua sebagai tiga. Atau sebagai lainnya. Sebab saya yakin bahwa satu adalah satu, dua adalah dua. Tak boleh diganti-ganti. Saya juga tak pernah menyebutkan lima tambah lima sama dengan lima kali dua meski sama-sama sepuluh hasilnya. Sebab saya tahu keduanya tak sama: beda struktur aljabarnya. Seperti itulah saya, yang tidak pernah berbohong.

Sejujurnya saya tidak pernah mempercayai angka-angka, kecuali angka nol. Bayangkan, dua kali dua sama dengan dua tambah dua, sementara satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu, dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Aneh bukan?



Ini hari pertama saya bekerja. Pekerjaan yang saya benci sebenarnya. Sebab setiap hari saya harus berhadapan dengan angka-angka. Dan saya tidak menyukai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Kamu pasti bertanya, mengapa angka nol adalah pengecualian. Sebab angka nol itu istimewa. Ia adalah Tuhannya angka-angka. Kamu pasti tidak tahu, angka nol selalu menyertai angka-angka lainnya di dalam struktur aljabar. Yang umumnya kamu tahu cuma, berapapun angkanya, jika ditambah dengan nol maka akan tetap angka itu sendiri. Dan jika dikalikan dengan nol maka akan menjadi nol. Sebab itulah saya percaya dengan angka nol. Sebab nol sangat jujur, apa adanya. Seperti saya.



Tumpukan kertas itu berisi angka-angka. Harus saya selesaikan secepatnya. Saya tidak pernah memakai kalkulator untung menghitungnya. Saya tidak percaya pada kalkukator. Sebab kalkulator adalah mesin. Bukan manusia. Tidak patut saya percayai. Seperti angka.



“Sudah selesai?” Tanya atasan saya yang badannya juga serupa angka nol itu. Sebab itulah mungkin saya agak hormat dengannya.

“Sedikit lagi, Pak.”

“Kamu pegawai yang baik,” saya cuma diam mendengarkan, “tapi kamu tidak akan bisa maju kalau kamu tetap seperti ini.”

Saya mengernyitkan dahi, tidak tahu apa maksudnya. Tampaknya beliau tahu kalau saya tidak mengerti yang ia bicarakan. “Kamu memang lugu, Nak.”

“Maksud Bapak?”

“Laporan yang sedang kamu kerjakan sekarang itu adalah laporan perusahaan milik sepupu saya.”

Saya masih diam.

“Sudah kamu hitung berapa pajaknya?”

“Hmm… dua ratus juta lebih, Pak.”

“Hapus saja satu angka nolnya.”

Saya mengernyitkan dahi. Tambah tidak mengerti. “Kalau dihapus satu nolnya, ‘kan jadi dua puluh juta, Pak?”

“Iya, saya tahu itu. Hapus saja. Sepuluh juta untuk kamu.”

Saya tambah bingung. Saya sangat menghargai angka nol, sangat mempercayai angka nol. Jadi, sangat tidak mungkin saya menghapus angka nol walau sebuah. Sebab saya tahu, angka nol begitu berharga.

“Saya tidak mau, Pak.” Jawab saya tegas.

“Kamu mau menentang saya?!” Bentaknya pada saya.

“Bukan begitu, Pak. Saya hanya…”

Belum sempat saya menyelesaikan kalimat saya, beliau sudah menyanggah. “Sebaiknya kamu kemasi barang-barangmu, bersiap untuk pindah dari kantor ini.”

Ternyata benar, satu minggu kemudian saya dipindahkan.



Saya tidak mempercayai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Saya juga tidak percaya kalkulator, produk mesin praktis yang merupakan pembodohan publik. Penumpulan kinerja otak. Dan kini, saya menambah daftar ketidakpercayaan saya. Saya juga tidak percaya manusia selain saya. Manusia sama seperti angka. Suka memanipulasi dan dimanupulasi. Mungkin karena itulah, ada manusia yang membuat kalkulator. Sebab ia ingin pintar sendiri. Makanya ia bodohi manusia-manusia lainnya dengan label praktis yang menipu.



Kantor baru saya sangat sepi. Setiap hari saya ditugaskan membuat kopi dan absensi lalu merekapitulasinya. Tapi tetap saja saya bertemu angka-angka pada urutan absensi. Ibu tua yang duduk di sebelah meja kerja saya juga sama. Ia juga membuat kopi dan absensi. Saya ingin bertanya kenapa tetapi saya tidak berani memulai pembicaraan.

“Kenapa kamu menatap saya?” Ibu tua itu tiba-tiba bertanya, seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Kamu pasti heran kenapa saya melakukan pekerjaan yang sama seperti kamu.” tambahnya lagi.

Saya malah bertambah heran.

“Saya sama seperti kamu, Nak.”

“Maksud Ibu?”

“Saya juga tidak percaya angka-angka. Saya juga tidak percaya manusia, selain saya.”

Saya termenung sejenak, “Lalu kenapa Ibu mengajak saya bicara? Bukannya Ibu tidak percaya manusia selain Ibu sendiri?”

Beliau tersenyum. “Saya tidak bilang saya mempercayai kamu. Saya cuma tahu, kita bernasib sama. Sama-sama tidak mempercayai angka. Sama-sama tidak lagi mempercayai manusia. Sebab itulah kita di sini, mengerjakan hal yang sama, kopi dan absensi.”



Semakin hari, Ibu tua itu semakin sering bercerita kepada saya. Saya Cuma bisa mendengarkan. Sebab saya tidak suka bercerita. Saya lebih suka diam. Diam dan diam. Sebab diam itu emas. Lagipula tidak ada gunanya lagi saya berbicara, mengaspirasikan pendapat dan keinginan saya. Sebab saya tahu, saya tidak akan didengarkan karena saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa.

“Kamu tahu dia?” Ibu tua itu menunjuk seorang laki-laki muda di ruangan sebelah. Dari tampang dan perawakannya, usianya paling jauh terpaut lima tahun dari saya.

“Dulu dia sama seperti kamu, seperti kita.”

“Tidak percaya angka-angka?”

Ibu tua itu mengangguk.

“Lalu kenapa dia berbeda? Tidak seperti kita, membuat kopi dan absensi?”

“Dua tahun yang lalu, dia berubah. Dia mulai berdamai dengan angka-angka.”

Braak!

Saya menghentak meja. Marah. Pandangan pegawai lainnya beralih ke ruangan saya. Ke saya. Termasuk laki-laki itu yang memandang saya dengan ekspresi mencari tahu. Saya balas pandangannya. Sementara tangan saya sudah terkepal erat, ingin memukulnya. Sebab saya tidak suka pada pengkhianat, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka.

Saya langkahkan kaki saya menuju ruangannya. Ibu tua itu tampak memegangi tangan saya, berusaha mencegah. Tapi apa daya, tenaganya yang telah renta tidak sebanding dengan darah muda saya.

Tiba-tiba saya sudah mencengkram kerah bajunya.

“Kamu sudah gila ya?!” Tangannya menepis cengkraman saya. Lalu berganti dia yang mencengkram kerah baju saya.

“Saya ini atasan kamu di sini! Mengerti?!”

“Orang sepertimu, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka, tidak pantas ada di sini!” Saya balas membentaknya.

Plak!

Dia menampar saya. Saya meludahinya. Orang-orang mulai tampak melerai kami berdua. Saya masih ingin memukulnya, membalas tamparan yang baru saja dia hadiahkan dengan manis di pipi saya. Tapi tidak bisa. Orang-orang terlalu kuat untuk saya lawan

“Mulai besok kamu tidak akan bekerja lagi di sini. Karirmu sudah berakhir!” Teriak laki-laki itu di sebelah lain dari kerumunan yang melerai kami berdua.

Saya sempat menoleh ke arah ruangan saya. Ke arah ibu tua itu. Dan dia tersenyum. Menyeringai. Seolah menertawakan saya. Seolah menunjukkan kemenangan telah membodohi saya. Saya semakin sadar, ibu tua itulah yang telah memprovokasi saya. Ibu tua itu telah menipu saya!

Dia mengangkat sebuah kertas. Samar terbaca. “SAYA BEGITU MENCINTAI ANGKA NOL. DAN TELAH BERHASIL ME-NOL-KAN KAMU!”

(Seharusnya saya tetap tidak percaya manusia, selain saya.
Sama halnya saya tidak percaya pada angka-angka, kecuali angka nol tentunya)

Minggu, 09 November 2008

Sajak Mentah

/1/
Adakah kesunyian bisa dinamai
Diklasifikasi dalam ensiklopedi
hingga menjadi sebuah logi tersendiri

/2/
Maka rembulan pernah menuntut telaga yang
hendak mencuri bayangnya di
tiap malam terindah

“Bayangku adalah simbol surgawi, tidak untukmu sang pencuri…”

“Ini semua bukan milikmu.
Kita sama-sama meminjam matahari!” Jawab telaga tak terima.

/3/
Maka saat kau congkel matamu, dengan belati yang pernah
kuhadiahkan untukmu,
bongkahan airmatamu lah yang jatuh, pecah,
dan terserak.

/4/
Suatu saat engkau lupa mengapa engkau pernah mencintainya. Kau bahkan lupa seperti apa wajahnya yang pernah selalu kau bayangkan di tiap detikmu; suaranya yang selalu mendendangkan nada-nada di penghujung malammu; bahkan sentuhannya yang lembut menelusuri tiap lekuk tubuhmu.

Sebab kini engkau tengah lupa, bahkan engkau lupa jati dirimu.

/5/
Anak-anak kecil yang bermain gundu di belakang rumahmu itu sebenarnya tengah memunggungi rindu. Menantang roda nasib yang berputar seenaknya di atas kepalamu.

“Ini rindu, sebagai taruhanku.”

Seperti itulah detik-detik bertaruh, tentang detik ke berapa anak-anak kecil itu akan memenangkan gundu, seharga rindu.


/6/
Tidakkah malam selalu berbohong?

Tak ada matahari di sini. Tak ada.

Padahal ia menyembunyikan matahari
menjadikan miliknya sendiri.

/7/
Ia muntahkan lagi cinta yang baru saja ia telan. Tentu aku bertanya kenapa, katanya cinta itu pahitnya tak tertahankan
Maka kuberi saja dia setoples gula, biar manis.
Eh, malah keracunan.

/8/
Anak-anak kecil itu mulai belajar memilih; mana yang baik, mana yang buruk; mana yang benar, mana yang salah; mana yang benar-benar harus dipilih dan ditinggalkan.

Maka kami memberi dua pilhan: sama-sama mengatakan kebenaran. Anak-anak kecil itu pun kebingungan dan mulai berhamburan, memilih pilihannya masing-masing.

/9/
Kunci pintu rumahku
sudah kusembunyikan di bawah alas kaki
tak mungkin akan bisa kau temukan
meski kau paksa, aku tak akan katakan;
aku tak akan berikan
Sebab ruang ini sudah bukan milkmu
cuma untukku.

/10/
Maka memori ini masih meneriakkan kata-kata rindu, kata-kata cinta, dan bisik-bisik mesra yang pernah kau hembuskan di telingaku dulu…

Tapi kini percuma. Sebab aku telah tuli. Bahkan bisu.
Sekali pun tak pernah lagi aku mendengar semua itu. Atau memintamu meneriakannya untukku.

/11/
Ini hari kesebelas aku bersamamu, dan sudah tak ada rahasia yang tersisa. Semua sudah kauungkap, dan tersingkap. Seperti rokku yang kausingkap begitu nakalnya di tiap malam kita berdua.

/12/
Hari-hari yang ganjil telah kita lewati bukan?

Tak ada lagi tangan-tangan jahil yang seenaknya menjadi kaki, atau mata-mata yang pindah ke belakang kepala – mengawasimu, yang ingin menusukku dari belakang.

Kita bahkan bisa tidur nyenyak di malam yang genap, tidak lagi takut kepalamu tiba-tiba terjatuh, terbelah, memindahkan otakmu ke dengkulmu; tidak lagi khawatir pada tanganmu yang berjalan sendiri, menggelitiki tiap titik senstifku, merayu hasrat agar semburat di hadapmu.

Sungguh, hari-hari yang ganjil itu telah kita lewati.

/13/
Bibirmu begitu sabit,
inginkanku menjelma purnama dengan sebuah kecup
yang paling hangat

Maka itu hasrat, katamu

Dan bulan mati, hasrat pun mati.

Malam - Matahari

Tidakkah malam selalu berbohong?

Tak ada matahari di sini. Tak ada.

Padahal ia menyembunyikan matahari
menjadikan miliknya sendiri.

Jumat, 07 November 2008

Rindu - Mati

seperti sebuah rindu yang
tiba-tiba jatuh

ada yang terserak di dedaunan maple
yang telah memerah lalu mengering,
menjadi bagian dari hidupmu

"Tapi ini musim semi," katamu mengeluh

terpaksa kau mencarinya
di sela-sela ulat yang mulai
menggerogoti dedaunan itu
berhari-hari

"Sudah membusukkah?" Tanyamu lesu

maka kau menyerah
; rindu itu mati!

It's Not Always Because You Said So

hush.
I heard what you said.

the soft breeze slips through your lips, but I see thunder and gray clouds in your eyes.

stop.
I can see you.

your soul slips through the thin membrane wrapping you, exposing what you say is "you".

yes. I can hear and see you. standing there. a hypocrite pretending to look low.
but there you are.
you always stand tall, as if you could hold the world above your head by with your fingertips. getting whatever you want, however you like.

...

huh? what is it you said?

no. you can't have me.
absolutely not.

Hasut

Susah payah aku menghindar
Menampik desir dahaga penuh nikmat
Agar segera kau senyap



Kau berbisik. Manja. Penuh canda. Kau bilang tak apa-apa. Dan Tuhan takkan marah padaku.

Kau bilang Dosa itu tak ada. Yang ada hanya pengecut-pengecut yang tak kuasa menghadap derita dunia. Maka merekapun berdoa. Harap-harap cemas pada kesudahan yang takkan ada.

Nafsuku berpihak padamu. Berteriak.
”Pesta!”
”Uang!”
”Perempuan!” (”lelaki!”)
”Alkohol!”
Nafasku. Jantungku. Menjerit memuja rayuanmu.
Kau bilang kau lebih dekat dari Apa yang terdekat dengan urat nadiku.

...

Susah payah aku menghindar
Menampik desir dahaga penuh nikmat
Agar segera kau senyap

...

Kau bilang aku bodoh. Merugi. Menggantungkan asa pada Sesuatu yang tak pasti.
Kau caci dan maki aku. Kau bilang aku ini budak.

...

Susah payah aku menghindar
Menampik desir dahaga penuh nikmat
Agar segera kau senyap.
Lenyap

Semangkuk Cinta

maka pedang yang kalian
hunjam ke jantung ini
tak kan mampu buatku
lumpuh

dan bisa yang kalian
semburkan ke mata ini
tak kan mampu buatku
buta

karena setiap datang kalian
bawa secangkir benci
kusambut kalian di depan
pintuku dengan
semangkuk cinta